KUTUNGGU PINISI KEMBALI
(Ahmad Wildan)
anggota penuh mpas maestro fbs unm anggk.VIII
(Ahmad Wildan)
anggota penuh mpas maestro fbs unm anggk.VIII
BADIK BERKARAT.
Ketika kubacakan syair ini, aku mohon. Aku mohon dengan sangat kepada kalian.
Dengarkanlah ia di tiap pilihan kata,
Simaklah ia di tiap tambahan frasa,
Cobalah kau renungkan tiap klausa yang hendak kurampungkan.
Tak mungkin kau temukan irisan kalimat yang mengalir dalam guratan penuh makna yang begitu mendalam. Lalu, rasakanlah apa yang kurasa pada tiap rajutan kalimat-kalimat yang kutumpuk bersama sumur air mataku yang telah mengering.
Kutegaskan padamu wahai kalian yang diam membatu.
Sekali lagi kutegaskan padamu wahai kalian yang mungkin sedang tersenyum. atau bahkan tertawa terbahak-bahak hingga dua barisan gigi tak sanggup menyujud pada kisahku.
Tetesan darah telah mengalir dari keelokan pamor badik yang tiap waktu, bahkan mungkin tiap detik ditusukkan padaku.
Inilah kisahku wahai para pemuja paras elok ciptaan Penguasa abadi. Kisah yang tak mungkin kuhentikan separoh jalan. Sebab cerita telah kutuliskan. Dan kaki terlanjur melangkah.
Hanya satu harapku padamu yang setia memegang titah moyang bugis.
Kelak, merah darah yang mengalir terus menerus mengalir kealiran zaman berganti dapat mencuci warisan leluhur yang terkurung sepi memfosil purba tak tersentuh waktu.
BADIK KIAN BERKARAT
Jangan kau dengarkan muslihat kata yang dipilih. Sebab renungan panjang tak akan temukan benar kebenaran yang coba dibenarkan.
Ketetapan telah dituliskan lewat pinisi yang tegar berlayar meski terombang ambing dihantam ombak sejarah.
Tak ada iba, tak ada belas kasih.
Meski berkarat, warisan leluhur mesti terjaga.
Terjaga oleh Globalisasi, Emansipasi dan roh-roh Feminisme yang bergentayangan merampas darah perawan, Bugisku Biru.
BUGISKU BIRU
Pinisi telah berlayar mengitar jagad mengukir pamor, tanah tak dikenal
Kutegaskan pada kalian. Ujung badik akan mencuci biru yang memerah melupa
Akan darah yang telah digariskan oleh para Tubarani.
Kelak, jika jiwa mengingkar titah
Badik bicara menembus tiap zaman yang ditentang.
BADIK, BUGIS, BIRU
Tajam badik memecah karam menyanjung adat
Darah bugis, makassar, toraja, mandar. Darah manusia. Aku, kau, kalian dan mereka. Semua manusia. Manusia yang merunut pada silsilah Adam sebagai manusia pertama dimuka bumi.
Biru, Merah, Hitam, Cokelat, Putih. Tak mampu melukiskan keindahan akan kehidupan jika seragam.
Prinsip harus ditegakkan, dan setiap kita punya prinsip
Maafkan jika ku ego. Sebab, setiap kita dilahirkan dengan rasa yang berbeda
Ketajaman Badik menembus tiap zaman.
Dulu, kini, dan esok, masa yang kuramalkan akan kembali ke peradaban semula.
Sekarang, pinisi telah jauh berlayar mengukir sejarah. Jauh, sangat jauh ke negeri seberang.
Aku lupa. Sampaikan pada para Tobarania.
Sipakatau, sipakainge dan sipakallebi akan selalu menunggu Pinisi kembali.
Ketika kubacakan syair ini, aku mohon. Aku mohon dengan sangat kepada kalian.
Dengarkanlah ia di tiap pilihan kata,
Simaklah ia di tiap tambahan frasa,
Cobalah kau renungkan tiap klausa yang hendak kurampungkan.
Tak mungkin kau temukan irisan kalimat yang mengalir dalam guratan penuh makna yang begitu mendalam. Lalu, rasakanlah apa yang kurasa pada tiap rajutan kalimat-kalimat yang kutumpuk bersama sumur air mataku yang telah mengering.
Kutegaskan padamu wahai kalian yang diam membatu.
Sekali lagi kutegaskan padamu wahai kalian yang mungkin sedang tersenyum. atau bahkan tertawa terbahak-bahak hingga dua barisan gigi tak sanggup menyujud pada kisahku.
Tetesan darah telah mengalir dari keelokan pamor badik yang tiap waktu, bahkan mungkin tiap detik ditusukkan padaku.
Inilah kisahku wahai para pemuja paras elok ciptaan Penguasa abadi. Kisah yang tak mungkin kuhentikan separoh jalan. Sebab cerita telah kutuliskan. Dan kaki terlanjur melangkah.
Hanya satu harapku padamu yang setia memegang titah moyang bugis.
Kelak, merah darah yang mengalir terus menerus mengalir kealiran zaman berganti dapat mencuci warisan leluhur yang terkurung sepi memfosil purba tak tersentuh waktu.
BADIK KIAN BERKARAT
Jangan kau dengarkan muslihat kata yang dipilih. Sebab renungan panjang tak akan temukan benar kebenaran yang coba dibenarkan.
Ketetapan telah dituliskan lewat pinisi yang tegar berlayar meski terombang ambing dihantam ombak sejarah.
Tak ada iba, tak ada belas kasih.
Meski berkarat, warisan leluhur mesti terjaga.
Terjaga oleh Globalisasi, Emansipasi dan roh-roh Feminisme yang bergentayangan merampas darah perawan, Bugisku Biru.
BUGISKU BIRU
Pinisi telah berlayar mengitar jagad mengukir pamor, tanah tak dikenal
Kutegaskan pada kalian. Ujung badik akan mencuci biru yang memerah melupa
Akan darah yang telah digariskan oleh para Tubarani.
Kelak, jika jiwa mengingkar titah
Badik bicara menembus tiap zaman yang ditentang.
BADIK, BUGIS, BIRU
Tajam badik memecah karam menyanjung adat
Darah bugis, makassar, toraja, mandar. Darah manusia. Aku, kau, kalian dan mereka. Semua manusia. Manusia yang merunut pada silsilah Adam sebagai manusia pertama dimuka bumi.
Biru, Merah, Hitam, Cokelat, Putih. Tak mampu melukiskan keindahan akan kehidupan jika seragam.
Prinsip harus ditegakkan, dan setiap kita punya prinsip
Maafkan jika ku ego. Sebab, setiap kita dilahirkan dengan rasa yang berbeda
Ketajaman Badik menembus tiap zaman.
Dulu, kini, dan esok, masa yang kuramalkan akan kembali ke peradaban semula.
Sekarang, pinisi telah jauh berlayar mengukir sejarah. Jauh, sangat jauh ke negeri seberang.
Aku lupa. Sampaikan pada para Tobarania.
Sipakatau, sipakainge dan sipakallebi akan selalu menunggu Pinisi kembali.
No comments:
Post a Comment