2008-11-21

"Menyoal penyewaan hutan Lindung"


Menyoal Penyewaan Hutan Lindung
Oleh ; Muh. Ibrahim
Anggota penuh mpas maestro fbs unm angkatan IV

Seperti petir disiang bolong kiranya itulah ungkapan yang pantas mewakili dengan diterbitkannya peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2008 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada departemen kehutanan. Peraturan ini resmi dikeluarkan pemerintah RI Pada tanggal 4 Februari 2008.
Tak dirasa, konferensi tentang pemanasan global yang dilangsungkan di Bali akhir 2007 terasa sia-sia saja. Miliaran dana habis terpakai untuk menunjukkan keseriusan Indonesia dalam mengelolah lingkungan secara bijaksana dan berkeadilan. Jutaan mata tertuju atas konferensi tersebut, semua orang berharap ada kebijakan dan kesepakatan para pemimpin Negara-negara peserta konferensi, agar dunia ini minimal dapat mengurangi emisi efek rumah kaca dan mempertahankan hutan yang masih tersisa.
Namun, keseriusan tersebut sirna seketika, takkala dunia investasi diutamakan kepentingannya di sektor kehutanan. Penetapan tarif atau penyewaan terhadap hutan lindung mungkin oleh sebagian orang dirasa adalah kebijakan yang biasa-biasa saja. Namun jika diperhatikan secara konfrehensif, peraturan ini akan menimbulkan efek yang maha dahsyat, terutama bagaimana cara Indonesia terlepas dari bencana ekologis.
Carut marut regulasi disektor kehutanan
Sejak diterbitkannya Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, banyak perusahaan yang bergerak disektor pengelolaan sumber daya alam seperti perusahaan-perusahaan tambang, perkebunan, migas berharap-harap cemas. Karena secara jelas diuraikan dalam undang-undang tersebut bahwa, hutan lindung tidak dapat dibuka begitu saja. UU ini pun menuai kontroversi yakni antara pihak pengusaha , masyarakat dan para pemerhati lingkungan. Bahkan dalam perjalanannya, pemerintah juga setengah hati untuk menjalankan undang-undang tersebut. Dalam prakteknya pelanggaran terhadap undang-undang tersebut tidak ada yang diusut sampai tuntas. Bentuk ke tidak konsistenan pemerintah terhadap implementasi UU tersebut adalah dibuatlah peraturan-peraturan teknis yang sebenarnya memberikan penjelasan bahwa “hutan lindung dapat dibabat”. Tahun 2004, di era presiden Megawati, pemerintah RI mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang (Perpu) No. I Tahun 2004 (UU No.19 Tahun 2004 ; Perubahan UU No. 41 Tahun 1999) yang intinya adalah memperbolehkan 13 perusahaan tambang raksasa untuk melakukan praktek penambangan dihutan lindung.
Secara sederhana, penerbitan Perpu ini dinilai untuk menghindarkan pemerintah RI dari ancaman terhadap gugatan internasional (arbitrase) yang akan dilancarkan oleh beberapa perusahaan di Indonesia. Para pengusaha tambang mengatakan, pemerintah RI tidak konsisten, karena satu sisi mereka mengundang dan membuka iklim investasi akan tetapi di satu sisi, pemerintah RI juga tidak memberikan kepastian hukum terhadap investasi yang telah ada di Indonesia.
Alasan lain yang muncul adalah bagaimana bentuk implementasi undang-undang 41 tahun 1999 terhadap perusahaan-perusahaan yang telah terlebih dahulu menambang dihutan lindung sebelum UU No. 41 tahun 1999 terbit. Begitulah ribetnya regulasi disektor kehutanan kita saat itu.

Namun disadari atau tidak, sikap pemerintah RI terhadap perlindungan hutan lindung adalah ambigu bahkan cenderung menetapkan standar ganda. Lihat saja, disatu sisi, sistem konservasi yang gencar dilakukan oleh departemen kehutanan lewat BKSDA mempromosikan perluasan taman nasional sebagai sistem penyanggah yang tidak dapat diutak-atik keberadaannya. Namun ternyata di banyak tempat, kebijakan untuk men-taman-nasionalkan beberapa kawasan penting tidak begitu serius dan bahkan cenderung mengalah kepada investasi. Penetapan tapal batas kawasan lindung banyak juga yang digeser, kemudian dikonversi menjadi kawasan produksi. Akhirnya dengan begitu, tak ada bedanya dengan melakukan pembiaran pembabatan hutan lindung. Akan tetapi jika Dephut berhadapan dengan masyarakat dalam persoalan kawasan lindung, maka kekuatan Negara tak segan-segan diturunkan untuk mengamankan kawasan yang katanya “harus dijaga” itu.
Ambiguistis dalam tubuh Dephut
Menteri Kehutanan RI, M.S Ka’ban mewakili presiden pernah mengatakan bahwa, keluarnya PP No. 2 Tahun 2008 hanya semata-mata untuk memberikan keuntungan bagi pendapatan Negara lewat 13 perusahaan yang sebelumnya telah mengantongi izin operasi di hutan lindung lewat Perpu No.I tahun 2004. Namun, sikap ini justru meperparah situasi kehutanan kita. Jika PP No. 2 Tahun 2008 disimak secara seksama maka ditemukan fakta bahwa PP tersebut tidak mengatur hal demikian, bahkan PP ini juga melegitimasi pembabatan hutan lindung untuk kepentingan di sektor telekomunikasi, stasiun pemancar radio, relai televisi, listrik, instalasi air dan jalan tol. Kalau dinyatakan untuk ke 13 perusahaan tersebut (menurut Perpu No. I Tahun 2004), maka secara gamblang pemerintah telah berkelit sebab, ke 13 perusahaan tersebut semuanya bergerak disektor penambangan. Selain murahnya penyewaan hutan lindung yang hanya sekitar Rp. 1,2 juta –Rp.3 Juta/Ha, masalah lainnya adalah hutan lindung juga dapat dipindahkan berdasarkan kekuatan modal serta kekuatan politik. Walaupun sudah terasa naif, namun hal ini masih juga banyak dikeluhkan oleh para investor. Menurut mereka, salah satu faktor penghambat laju investasi tambang di Indonesia adalah berbelitnya regulasi yang harus di lalui untuk menambang di hutan lindung seperti aturan tukar menukar kawasan hutan.
Paradigma tentang hutan lindung yang seharusnya harus dilindungi, dengan keluarnya ketentuan-ketentuan yang semakin melemah dan berbalik arah, maka dengan sendirinya pula paradigma tersebut tersebut luntur sudah. Hutan lindung tak se-sakral lagi dengan makna kalimatnya. Penggambarannya sudah jelas, yang harus di lindungi oleh Negara dalam dunia kehutanan adalah mereka yang memiliki modal dan bukan obyek dalam hal ini hutan itu sendiri.
Menilai jasa hutan
Rp. 120/meter hutan lindung adalah harga yang sangat tidak pantas, akan tetapi taksiran itu telah direstui dan sebentar lagi diberlakukan. Ratusan perusahaan telah antri siap dengan koceknya masing-masing menunggu giliran membayarkan sejumlah uang yang tak seberapa besarnya kepada pemerintah. Dengan seperti itu, hutan lindung Indonesia harus direlakan kehancurannya demi pertimbangan pendapatan ekonomi sesat tersebut.
Semestinya sikap melindungi hutan harus dikaji ulang, harapan rakyat agar terlepas dari bencana tidak akan pernah dihitung dalam PP No. 2 tahun 2008. Akhirnya kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa paradigma percepatan pembangunan perekonomian bangsa masih berlandaskan pada azas jual cepat dan jual murah, dengan cara mengeksploitasi SDA tanpa mengenal batas dan jenis. Paradigma ini adalah paradigma yang seharusnya telah mati pasca reformasi digulirkan 10 tahun yang lalu. Sebab hanya menyisakan kemiskinan dan kesengsaraan yang berkepanjangan.
Perlindungan terhadap fungsi-fungsi hutan hanya menjadi slogan belaka, pelestarian dengan cara mempertahankan hutan tropis di Indonesia hanya menjadi pemanis bibir untuk tamu-tamu kenegaraan tiap perhelatan lingkungan internasional digelar. Jutaan rakyat yang tidak tahu apa-apa kembali akan menjadi korban bencana ekologis. Pada saat bencana datang, mereka mengatakan ini adalah takdir tuhan dan sibuk saling menyalahkan. Bagaimana mungkin menghindarkan bangsa ini dari bencana kalau hutan lindung di sewakan seharga permen ?
Prinsip penerbitan PP No.2 Tahun 2008 melupakan jasa hutan yang tidak semata-mata didasarkan nilai ekonomi semata. Hutan mempunyai jasa yang tidak dapat di uangkan, seperti pengatur iklim, penyerap air, sistem penyangah dan sebagainya.
Apa guna GNRHL
Seperti sebuah cerita dongeng belaka, rakyat di janji-janji dengan sebuah program nasional dalam rangka penyelamatan hutan Indonesia. Ribuan orang di libatkan untuk merumuskan dan terjun langsung dalam program rehabilitasi hutan dan lahan. Tujuannya, dengan program ini akan memuluskan langkah Indonesia untuk tidak lagi menjadi pengancur hutan tercepat seperti tercatat dalam sejarah dunia. Jutaan lahan kritis akan direhabilitasi dan diharapkan tidak lagi akan menjadi momok menakutkan dikemudian hari. Tetapi apa yang terjadi dengan cara menghamburkan uang rakyat, program ini berdasarkan evaluasinya hampir tidak ada yang berhasil, dan kalaupun ada, maka hutan tersebut siap-siap akan disewakan lagi. Rakyat membayar dan menanam, pemerintah yang menyewakan. Inilah kisah tragis program yang tak berkelanjutan, sebuah program yang ambisius tapi penuh dengan trik politik dan menyedihkan.
Indonesia Menanti Bencana
Jutaan orang telah menjadi korban bencana ekologis. Banjir, longsor, kekeringan, gagal panen yang terjadi dalam waktu 5 tahun terakhir semakin menjadi-jadi. Ini adalah akumulasi kegagalan negara dalam mengelola lingkungan hidup.
Hampir tiap hari berita banjir mewarnai media cetak dan elektronik ; korban tewas, luka, hilang sudah menjadi hal biasa dan dianggap lumrah. Akumulasi krisis ekologis ini telah mendorong bangsa Indonesia untuk harus tahu mekanisme“sigap bencana”. Namun pada dasarnya sikap seperti itu hanya akan menjadi kebiasaan yang akan berlarut-larut jika antisipasi dan pencegahan terhadap bencana tidak dimulai dari sekarang.
Apakah nasib ratusan juta rakyat Indonesia dipertimbangkan dalam penyewaan hutan lindung ?. Atau memang nyawa rakyat sudah tak berarti jika dibandingkan jasa yang telah diberikan oleh sektor investasi SDA.
Tangisan korban bencana, dan susahnya mencarikan pos penganggaran untuk bencana alam masih terasa kental ditelinga kita di saat bencana longsor Bahorok dan bencana banjir Sinjai terjadi. Rehabilitasi terhadap para korban di tiap daerah bencana selalu diwarnai keributan. Ribuan pengungsi gempa Yogya menuding Gubernur DIY tidak memberikan bantuan kepada para pengungsi secara penuh. Proses rehabilitasi bencana yang selalu di perebutkan oleh politisi dan pengusaha. Oleh karena itu, jika di paksakan untuk menilai hutan dari sisi ekonomi, maka pertanyaannya adalah, yang mana lebih besar biaya bencana ditambah rehabilitasi hutan atau pendapatan dari investasi SDA?

"MENGGASAK HUTAN INDONESIA"



MENGGASAK HUTAN INDONESIA
Oleh: Muh.Ibrahim
anggota penuh mpas maestro fbs unm angk. IV

Akibatkan oleh semakin berkurangnya hutan Indonesia tiap tahunnnya membuat kondisi kesehatan dan ekonomi manusia ikut terancam. Tiap tahunnya Indonesia kehilangan 1,9 juta Ha pertahunnya dalam Lima tahun terakhir, keseluruhan hutan kita yang hilang telah mencapai 72 persen dari kawasan hutan alam utuhnya, dan 40 persen telah hancur total.
Jika laju kerusakan hutan dari tahun-ketahun tak terhindarkan, maka sudah dapat diprediksi krisis mineral termasuk air akan menjadi hantu yang menakutkan bagi masyarakat Indonesia yang telah berjumlah 270 juta jiwa. Saat ini 100 juta jiwa masyarakat Indonesia kesulitan dalam mengakses air bersih dan 70 persen diantaranya mengkonsumsi air yang telah terkontaminasi. Akibatnya adalah wabah diare menjadi penyebab kematian terbesar kedua bagi anak yang berusia dibawah Lima tahun yang berjumlah 100.000 jiwa per-tahunnya.
Laju dari kerusakan hutan, misalnya di Jawa Barat membuat pasokan air bersih untuk DKI tidak dapat dipenuhi karena menipisnya persediaan air di Bendungan Jatiluhur. Hal ini diungkapkan oleh direktur utama perum Jasa Tirta pada tanggal 25 Oktober 2005 lewat tanggapannya terhadap surat direktur PDAM DKI Jakarta. Tidak hanya di DKI Jakarta, di Sulawesi Selatan, hilangnya fungsi hutan sebagai daerah endapan air dan penadah air serta rusaknya DAS Jeneberang membuat DAM Bili-bili mengalami sedimentasi akibatnya pasokan air untuk daerah Gowa dan Makassar ikut tersendat apalagi dimusim kemarau. 3 DAS yang lainnya juga mengalami nasib yang sama, yakni DAS Sungai Sa’dan di Tana Toraja dan DAS Bila-Walanae (Sengkang, Soppeng) menyebabkan banjir rutin di Soppeng, Sengkang hingga Maros dan juga menyebabkan pendangkalan hebat di danau Tempe. Hal ini juga terjadi di DAS Sungai Rongkong, Luwu Utara yang menyebabkan banjir tahunan menimpa beberapa kecamatan dan menghancurkan areal pertanian masyarakat.
Berbagai macam usaha untuk menghentikan laju kerusakan hutan Indonesia telah ditempuh, walaupun pada kenyataannya realisasi dari usaha-usaha yang dimaksud tidak dapat berjalan dengan mulus akibat dari permasalahan klasik bangsa ini yakni KKN.
Penanganan illegal logging yang tengah gencar-gencarnya direalitaskan pemerintah nampaknya banyak menemui kendala dilapangan. Padahal kita pernah menyaksikan beberapa pengusaha kayu telah diperhadapkan pada meja hijau. Beberapa contoh penanganan illegal logging diantaranya, Polda Sumatera Selatan sejak bulan Januari hingga November 2006 telah menangani kasus illegal logging sebanyak 78 kasus dan telah menutup 32 tempat pemotongan kayu, namun usaha ini juga tidak banyak menghindarkan Sum-Sel dari laju kerusakan hutan yang kini telah mencapai 1,8 Ha. Secara keseluruhan hutan di pulau Sumatera yang umunya di dataran rendah menyusut drastis dari semula 16 juta Ha menjadi 500.000 Ha. Menyusutnya hutan didaratan rendah Sumatera banyak diakibatkan oleh peralihan fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri yang merupakan daerah konsesi beberapa perusahaan yang telah menebang 24.000 meter kubik kayu. Padahal hutan ini merupakan habitat 235 spesies burung, 36 spesies reptil, 37 jenis mamalia, kasarnya sebagian besar flora dan fauna yang tersimpan didalamnya mengalami kepunahan termasuk Harimau Sumatera yang tinggal 400-500 ekor dan Raflesia Arnoldi. Kendala usaha penghentian laju kerusakan hutan juga dialami oleh pemerintah Kalimantan Timur, 1.200 meter kubik kayu illegal dari cagar alam Muara Kamar Sedulang telah disita polisi akan tetapi eksplotasi ini tetap berlanjut bahkan dalam kuantitas yang lebih banyak diantaranya yang terjadi di Taman hutan raya Suharto, Taman nasional Kutai dan cagar alam Teluk Apar dan Teluk Adang. Dan yang lebih parah lagi terjadi di Papua, 13 dari 35 kasus illegal logging dinyatakan bebas.
Sementara itu, UU penanganan illegal logging yang diharapkan menjadi solusi progressif dan tidak hanya sebatas verbalistis dalam menanggulangi persoalan pembalakan hutan masih terkatung-katung. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Departemen kehutanan tanggal 9 Maret 2006 lalu dalam sebuah seminar, menurutnya rancangan UU illegal logging termasuk pengadilan Ad Hoc masih sebatas wacana di tingkatan antar departemen dan rencananya paling lambat pertengahan tahun ini sudah dapat diajukan ke DPR RI untuk diagendakan.
Jika kita menelaah jauh lagi tentang besarnya kerusakan hutan akibat penebangan liar, kita akan menemui beberapa contoh kokret yang lain. Diantaranya, di Pekanbaru 140 perusahaan telah menelantarkan 850.000 Ha di 10 Kabupaten dari 11 Kabupaten yang ada. Di Kalimantan Selatan 1,5 Juta Ha hutan atau sekitar 44,2 persen dari luas wilayahnya yang berkisar 555.983 berubah menjadi lahan kritis akibat penebangan liar dan ladang berpindah-pindah. Di Kalimantan Tengah deforestasi mencapai 200.000 Ha per tahun. Sementara itu pihak pemerintah hanya mampu melakukan reboisasi sekitar 100.000 Ha per tahunnya, ini berarti tiap tahunnya pula Kalimantan Tengah kehilangan 100.000 Ha hutannya tiap tahun.
Tentunya menelusuri illegal logging yang semakin menjamur tiap tahun, kita harus mencari tahu hipotesa yang menyebabkan mengapa bisnis kayu sangat diminati walaupun mempunyai resiko yang tinggi. Dari beberapa temuan selain faktor harga kayu, rotan, damar yang memang sangat menggiurkan, alasan banyaknya negara peng-impor kayu juga sangat mempengaruhi bisnis kayu dinegara kita. RRC merupakan negara pengimpor kayu illegal terbesar, kayu illegal dinegara ini mencapai 80 persen dari total kebutuhan kayunya. Namun sampai saat ini baik pemerintah RRC maupun negara pengekspor kayu termasuk Indonesia tidak melakukan langkah apapun dalam menyikapi persoalan ini. Dan untuk negara-negara Uni Eropa, impor kayu illegal terbesar adalah kayu lapis. Pada tingkat nasional ditengah gencarnya pemberantasan terhadap illegal logging yang berdampak pada naiknya harga baku kayu yang semula seharga Rp.7.5 juta perkubik untuk jenis kayu jati kini telah mencapai harga Rp.12.5 juta perkubiknya. Kenaikan harga ini ditaktisi para pengusaha meubel dengan cara memanfaatkan akar kayu dan limbah sebagai bahan baku demi tetap menjaga kelangsungan usahanya.
Saat ini ancaman terhadap kelangsungan hutan Indonesia betul-betul tidak dapat di pandang sebelah mata lagi. Menurut hasil perjalanan Green Peace lewat kapal Rainbow Warrior telah menyimpulkan sebuah ulasan yang menarik tentang kehancuran hutan dikawasan benua Asia. “Chains of Destruction” adalah buku perjalanan Green Peace yang terbit pada awal Maret 2006. Buku ini memberikan gambaran bahwa laju deforestasi tercepat dikawasan Asia Pasifik adalah kawasan hutan yang disebut hutan surgawi (Paradise Forest). Sementara itu, hutan yang sampai saat ini belum terjamah oleh manusia membentang dari Asia tenggara melintasi kepulauan Indonesia hingga Papua Nugini dan kepulauan Solomon di Pasifik.
Di Sulawesi Selatan bertambahnya areal perkotaan di tiap Kabupaten termasuk Kotamadya membuat areal hutan yang meliputi pegunungan, dan hutan dataran rendah termasuk hutan adat serta kawasan pesisir pantai semakin menyusut. Pertambahan penduduk yang tidak diimbangi dengan strategi pengelolaan hutan yang berkelanjutan akan menjadikan kawasan hutan termasuk hutan lindung, cagar alam, dan taman nasional terancam. Taman nasional Bantimurung Bulusaraung yang baru berusia beberapa tahun telah terbukti tidak terpelihara dan terjaga dengan baik. Tumpang tindihnya Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Hak Guna Usaha (HGU), Amdal dan tidak jelasnya batas-batas hutan lindung dengan daerah konservasi dan daerah industri hutan membuat keberadaan taman nasional ini mengalami ancaman berat.
Menurut hasil riset UN-Habitat menunjukkan tahun 2050 kelak dua per tiga (sekitar 6 miliar) penghuni akan beralih ke kota. Laporan ini tentunya akan menjadi permasalahan tersendiri, terkhusus lagi kaitannya dengan permasalahan lingkungan hidup. Efek dari laju kuantitas masyarakat kota berimpilikasi ke semakin merendahnya kualitas kesehatan manusia. Beberapa hasil riset menunjukkan bahwa ketika pemasokan pangan untuk masyarakat kota semakin meningkat maka jumlah masyarakat miskin yang hidup dari pertanian semakin meningkat, hingga kini petani miskin mencapai 70 persen termasuk di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur yang berjumlah 56 persen sampai dengan 62 persen. Dampak dari bertambahnya pangan masyarakat perkotaan adalah para petani dipedesaan harus berkerja maksimal untuk menyiapkan pangan tersebut. Banyak cara untuk mengefesienkan atau mempercepat laju pertanian diantaranya penggunaan pestisida. Disadari atau tidak penggunaan pestisida selama 40 tahun terakhir ini telah mewariskan 500 spesies hama yang resisten terhadap lingkungan hidup. Dampak lain adalah luas areal pertanian yang tidak lagi mencukupi kebutuhan sandang pangan masyarakat menjadikan hutan direlokasi fungsi-fungsinya. Padahal banyak metode yang dapat digunakan untuk mengurangi ketergantungan terhadap pestisida. Diantaranya dengan metode revolusi pertanian hijau tanpa organik yang telah terbukti tidak menimbulkan agens hayati atau dengan konsep agrobisnis tanpa limbah “zero waste” dengan jalan mendaur ulang limbah yang dihasilkan.
Seharusnya dari sekitar 120 juta Ha hutan alam Indonesia, minimal 30 persen harus tetap dijaga kelestariannya demi lingkungan. Namun yang terjadi, hutan Indonesia saat sekarang ini hanya berjumlah 26 persen dan akan terus berkurang dari tahun ke tahun jika persoalan pembalakan hutan tetap dianaktirikan kepentingannya. Kurang lebih 72 juta meter kubik kayu lenyap per tahun akibat penebangan liar dan telah merugikan negara sebesar 180 Miliar Rupiah per hari atau ratusan triliun Rupiah per tahun selama 25 tahun terakhir. Oleh karena itu, semua elemen bangsa ini mulai dari birokrasi eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian, masyarakat, ORNOP, Ormas dari level pusat sampai pada tingkatan daerah harus segera merumuskan dan mengambil langkah-langkah strategis untuk penyelamatan hutan kita. Dari usaha ini diharapkan adanya kesepahaman bersama untuk melihat permasalahan kerusakan hutan secara integral tidak terpisah oleh kepentingan tertentu termasuk kepentingan pemodal. Usaha ini diarahkan pada penghentian pembalakan hutan Indonesia untuk kepentingan investasi yang hanya berujung pada divestasi ekologi, kehancuran lingkungan hidup dan kemorosatan kesehatan serta ekonomi manusia melalui kebijakan moratorium atau usaha-usaha lain yang sifatnya lebih strategis.

Kegiatan Orientasi Medan

  1. Susur pantai Kab.Takalar - Kab.bulukumba (1998)
  2. Pendakian Bersama Mpas Maestro FBS UNM feat Gopala Valentara FH UNS (1999)
  3. Ekspedisi Orange (Rinjani,Sumeru,Agung) (2002)
  4. Pendakian gunung Balease Kab. Luwu (2002)
  5. pendakian gunung lompobattang - bulubaria kab.Gowa (2002)
  6. Pendakian gunung Lantimojong (Buntu Rante mario) Kab.Enrekang (2002)
  7. Ekspedisi gunung Gandang dewata (2003)
  8. Ekspedisi Anoa I Pegunungan Latimojong (B. nene mori, B. Rante Mario) Kab.Enrekang (2004)
  9. Pendakian Bersama Mpa Jonggring Salaka Univ.Negeri Malang (2004)
  10. Ekspedisi gunung Gandang dewata (2007)
  11. Ekspedisi Anoa II di Pegunungan koroue(Puncak Balease) Kab.Luwu (2007)
  12. Ekspedisi Cinta jingga gunung Gandang dewata (2008)
  13. Observasi gunung lompobattang - bawakaraeng kab.gowa (2008)
  14. Observasi gunung bulusaraung kab.pangkep (2008)
  15. Pendakian bersama Mpa Carefa FH UNHAS (2008)
  16. Ekpedisi satu - satu pegunungan Lantimojong (B.Rante mariao - B.rante kambola) kab.enrekang (2008)

Kegiatan Advokasi lingkungan Hidup dan Seni budaya

  1. Penelitian seni budaya suku tobalo kab.barru (1998)
  2. Penelitian seni budaya suku Da'a donggala palu (tahun 2005)
  3. Penelitian seni budaya suku kajang Kab. bulukumba Sul-sel (2006)
  4. Penelitian seni budaya Reog ponorogo jawa barat (2007)
  5. Penelitian seni budaya suku Baduy banten (2007)
  6. Eksplorasi seni budaya mar'rimpa salo kab. Sinjai (2008)
  7. Pendampingan suku tolangi dalam pembebasan tanah adat kec.soroako kab. Luwu (2004)
  8. Pendampingan warga lembanna dalam kasus sengketa tanah kec.tinggi moncong kab.gowa (2006)
  9. Aksi solidaritas untuk korban bencana alam Aceh (2004)
  10. Bakti sosial dusun patuku di kab.gowa (2005)
  11. Evakuasi korban bencana alam di desa lengkese kab.gowa (2004)
  12. Evakuasi korban bencana alam di Kab.sinjai (2005)
  13. Evakuasi korban bencana alam di kab. luwu (2007)
  14. Peserta aksi penanaman Mangrove di kab. jeneponto (2004)
  15. Peserta aksi penanaman bakau di kab. bulukumba (2008)
  16. Aksi bersih gunung bawakaraeng di kab. Gowa
  17. Aksi bersih kampus dan penanaman 100 bibit pohon di FBS UNM (2008)

Divisi Gunung Hutan

Pendakian bersama MPA JONGGRING SALAKA
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
(Gunung Ganda dewata Kab.Mamasa Sul-Bar)









Divisi Panjat tebing












Divisi Gunung Hutan

Observasi Lingkungan Hidup
Gunung Lompo Battang - Bawakaraeng
Kabupaten Gowa













Divisi Gunung Hutan







Divisi Susur Gua

Explorasi Goa Salukang kallang
Kabupaten Maros Sul -Sel