Menyoal Penyewaan Hutan Lindung
Oleh ; Muh. Ibrahim
Anggota penuh mpas maestro fbs unm angkatan IV
Oleh ; Muh. Ibrahim
Anggota penuh mpas maestro fbs unm angkatan IV
Seperti petir disiang bolong kiranya itulah ungkapan yang pantas mewakili dengan diterbitkannya peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2008 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada departemen kehutanan. Peraturan ini resmi dikeluarkan pemerintah RI Pada tanggal 4 Februari 2008.
Tak dirasa, konferensi tentang pemanasan global yang dilangsungkan di Bali akhir 2007 terasa sia-sia saja. Miliaran dana habis terpakai untuk menunjukkan keseriusan Indonesia dalam mengelolah lingkungan secara bijaksana dan berkeadilan. Jutaan mata tertuju atas konferensi tersebut, semua orang berharap ada kebijakan dan kesepakatan para pemimpin Negara-negara peserta konferensi, agar dunia ini minimal dapat mengurangi emisi efek rumah kaca dan mempertahankan hutan yang masih tersisa.
Namun, keseriusan tersebut sirna seketika, takkala dunia investasi diutamakan kepentingannya di sektor kehutanan. Penetapan tarif atau penyewaan terhadap hutan lindung mungkin oleh sebagian orang dirasa adalah kebijakan yang biasa-biasa saja. Namun jika diperhatikan secara konfrehensif, peraturan ini akan menimbulkan efek yang maha dahsyat, terutama bagaimana cara Indonesia terlepas dari bencana ekologis.
Carut marut regulasi disektor kehutanan
Sejak diterbitkannya Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, banyak perusahaan yang bergerak disektor pengelolaan sumber daya alam seperti perusahaan-perusahaan tambang, perkebunan, migas berharap-harap cemas. Karena secara jelas diuraikan dalam undang-undang tersebut bahwa, hutan lindung tidak dapat dibuka begitu saja. UU ini pun menuai kontroversi yakni antara pihak pengusaha , masyarakat dan para pemerhati lingkungan. Bahkan dalam perjalanannya, pemerintah juga setengah hati untuk menjalankan undang-undang tersebut. Dalam prakteknya pelanggaran terhadap undang-undang tersebut tidak ada yang diusut sampai tuntas. Bentuk ke tidak konsistenan pemerintah terhadap implementasi UU tersebut adalah dibuatlah peraturan-peraturan teknis yang sebenarnya memberikan penjelasan bahwa “hutan lindung dapat dibabat”. Tahun 2004, di era presiden Megawati, pemerintah RI mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang (Perpu) No. I Tahun 2004 (UU No.19 Tahun 2004 ; Perubahan UU No. 41 Tahun 1999) yang intinya adalah memperbolehkan 13 perusahaan tambang raksasa untuk melakukan praktek penambangan dihutan lindung.
Secara sederhana, penerbitan Perpu ini dinilai untuk menghindarkan pemerintah RI dari ancaman terhadap gugatan internasional (arbitrase) yang akan dilancarkan oleh beberapa perusahaan di Indonesia. Para pengusaha tambang mengatakan, pemerintah RI tidak konsisten, karena satu sisi mereka mengundang dan membuka iklim investasi akan tetapi di satu sisi, pemerintah RI juga tidak memberikan kepastian hukum terhadap investasi yang telah ada di Indonesia.
Alasan lain yang muncul adalah bagaimana bentuk implementasi undang-undang 41 tahun 1999 terhadap perusahaan-perusahaan yang telah terlebih dahulu menambang dihutan lindung sebelum UU No. 41 tahun 1999 terbit. Begitulah ribetnya regulasi disektor kehutanan kita saat itu.
Namun disadari atau tidak, sikap pemerintah RI terhadap perlindungan hutan lindung adalah ambigu bahkan cenderung menetapkan standar ganda. Lihat saja, disatu sisi, sistem konservasi yang gencar dilakukan oleh departemen kehutanan lewat BKSDA mempromosikan perluasan taman nasional sebagai sistem penyanggah yang tidak dapat diutak-atik keberadaannya. Namun ternyata di banyak tempat, kebijakan untuk men-taman-nasionalkan beberapa kawasan penting tidak begitu serius dan bahkan cenderung mengalah kepada investasi. Penetapan tapal batas kawasan lindung banyak juga yang digeser, kemudian dikonversi menjadi kawasan produksi. Akhirnya dengan begitu, tak ada bedanya dengan melakukan pembiaran pembabatan hutan lindung. Akan tetapi jika Dephut berhadapan dengan masyarakat dalam persoalan kawasan lindung, maka kekuatan Negara tak segan-segan diturunkan untuk mengamankan kawasan yang katanya “harus dijaga” itu.
Ambiguistis dalam tubuh Dephut
Menteri Kehutanan RI, M.S Ka’ban mewakili presiden pernah mengatakan bahwa, keluarnya PP No. 2 Tahun 2008 hanya semata-mata untuk memberikan keuntungan bagi pendapatan Negara lewat 13 perusahaan yang sebelumnya telah mengantongi izin operasi di hutan lindung lewat Perpu No.I tahun 2004. Namun, sikap ini justru meperparah situasi kehutanan kita. Jika PP No. 2 Tahun 2008 disimak secara seksama maka ditemukan fakta bahwa PP tersebut tidak mengatur hal demikian, bahkan PP ini juga melegitimasi pembabatan hutan lindung untuk kepentingan di sektor telekomunikasi, stasiun pemancar radio, relai televisi, listrik, instalasi air dan jalan tol. Kalau dinyatakan untuk ke 13 perusahaan tersebut (menurut Perpu No. I Tahun 2004), maka secara gamblang pemerintah telah berkelit sebab, ke 13 perusahaan tersebut semuanya bergerak disektor penambangan. Selain murahnya penyewaan hutan lindung yang hanya sekitar Rp. 1,2 juta –Rp.3 Juta/Ha, masalah lainnya adalah hutan lindung juga dapat dipindahkan berdasarkan kekuatan modal serta kekuatan politik. Walaupun sudah terasa naif, namun hal ini masih juga banyak dikeluhkan oleh para investor. Menurut mereka, salah satu faktor penghambat laju investasi tambang di Indonesia adalah berbelitnya regulasi yang harus di lalui untuk menambang di hutan lindung seperti aturan tukar menukar kawasan hutan.
Paradigma tentang hutan lindung yang seharusnya harus dilindungi, dengan keluarnya ketentuan-ketentuan yang semakin melemah dan berbalik arah, maka dengan sendirinya pula paradigma tersebut tersebut luntur sudah. Hutan lindung tak se-sakral lagi dengan makna kalimatnya. Penggambarannya sudah jelas, yang harus di lindungi oleh Negara dalam dunia kehutanan adalah mereka yang memiliki modal dan bukan obyek dalam hal ini hutan itu sendiri.
Menilai jasa hutan
Rp. 120/meter hutan lindung adalah harga yang sangat tidak pantas, akan tetapi taksiran itu telah direstui dan sebentar lagi diberlakukan. Ratusan perusahaan telah antri siap dengan koceknya masing-masing menunggu giliran membayarkan sejumlah uang yang tak seberapa besarnya kepada pemerintah. Dengan seperti itu, hutan lindung Indonesia harus direlakan kehancurannya demi pertimbangan pendapatan ekonomi sesat tersebut.
Semestinya sikap melindungi hutan harus dikaji ulang, harapan rakyat agar terlepas dari bencana tidak akan pernah dihitung dalam PP No. 2 tahun 2008. Akhirnya kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa paradigma percepatan pembangunan perekonomian bangsa masih berlandaskan pada azas jual cepat dan jual murah, dengan cara mengeksploitasi SDA tanpa mengenal batas dan jenis. Paradigma ini adalah paradigma yang seharusnya telah mati pasca reformasi digulirkan 10 tahun yang lalu. Sebab hanya menyisakan kemiskinan dan kesengsaraan yang berkepanjangan.
Perlindungan terhadap fungsi-fungsi hutan hanya menjadi slogan belaka, pelestarian dengan cara mempertahankan hutan tropis di Indonesia hanya menjadi pemanis bibir untuk tamu-tamu kenegaraan tiap perhelatan lingkungan internasional digelar. Jutaan rakyat yang tidak tahu apa-apa kembali akan menjadi korban bencana ekologis. Pada saat bencana datang, mereka mengatakan ini adalah takdir tuhan dan sibuk saling menyalahkan. Bagaimana mungkin menghindarkan bangsa ini dari bencana kalau hutan lindung di sewakan seharga permen ?
Prinsip penerbitan PP No.2 Tahun 2008 melupakan jasa hutan yang tidak semata-mata didasarkan nilai ekonomi semata. Hutan mempunyai jasa yang tidak dapat di uangkan, seperti pengatur iklim, penyerap air, sistem penyangah dan sebagainya.
Apa guna GNRHL
Seperti sebuah cerita dongeng belaka, rakyat di janji-janji dengan sebuah program nasional dalam rangka penyelamatan hutan Indonesia. Ribuan orang di libatkan untuk merumuskan dan terjun langsung dalam program rehabilitasi hutan dan lahan. Tujuannya, dengan program ini akan memuluskan langkah Indonesia untuk tidak lagi menjadi pengancur hutan tercepat seperti tercatat dalam sejarah dunia. Jutaan lahan kritis akan direhabilitasi dan diharapkan tidak lagi akan menjadi momok menakutkan dikemudian hari. Tetapi apa yang terjadi dengan cara menghamburkan uang rakyat, program ini berdasarkan evaluasinya hampir tidak ada yang berhasil, dan kalaupun ada, maka hutan tersebut siap-siap akan disewakan lagi. Rakyat membayar dan menanam, pemerintah yang menyewakan. Inilah kisah tragis program yang tak berkelanjutan, sebuah program yang ambisius tapi penuh dengan trik politik dan menyedihkan.
Indonesia Menanti Bencana
Jutaan orang telah menjadi korban bencana ekologis. Banjir, longsor, kekeringan, gagal panen yang terjadi dalam waktu 5 tahun terakhir semakin menjadi-jadi. Ini adalah akumulasi kegagalan negara dalam mengelola lingkungan hidup.
Hampir tiap hari berita banjir mewarnai media cetak dan elektronik ; korban tewas, luka, hilang sudah menjadi hal biasa dan dianggap lumrah. Akumulasi krisis ekologis ini telah mendorong bangsa Indonesia untuk harus tahu mekanisme“sigap bencana”. Namun pada dasarnya sikap seperti itu hanya akan menjadi kebiasaan yang akan berlarut-larut jika antisipasi dan pencegahan terhadap bencana tidak dimulai dari sekarang.
Apakah nasib ratusan juta rakyat Indonesia dipertimbangkan dalam penyewaan hutan lindung ?. Atau memang nyawa rakyat sudah tak berarti jika dibandingkan jasa yang telah diberikan oleh sektor investasi SDA.
Tangisan korban bencana, dan susahnya mencarikan pos penganggaran untuk bencana alam masih terasa kental ditelinga kita di saat bencana longsor Bahorok dan bencana banjir Sinjai terjadi. Rehabilitasi terhadap para korban di tiap daerah bencana selalu diwarnai keributan. Ribuan pengungsi gempa Yogya menuding Gubernur DIY tidak memberikan bantuan kepada para pengungsi secara penuh. Proses rehabilitasi bencana yang selalu di perebutkan oleh politisi dan pengusaha. Oleh karena itu, jika di paksakan untuk menilai hutan dari sisi ekonomi, maka pertanyaannya adalah, yang mana lebih besar biaya bencana ditambah rehabilitasi hutan atau pendapatan dari investasi SDA?
Tak dirasa, konferensi tentang pemanasan global yang dilangsungkan di Bali akhir 2007 terasa sia-sia saja. Miliaran dana habis terpakai untuk menunjukkan keseriusan Indonesia dalam mengelolah lingkungan secara bijaksana dan berkeadilan. Jutaan mata tertuju atas konferensi tersebut, semua orang berharap ada kebijakan dan kesepakatan para pemimpin Negara-negara peserta konferensi, agar dunia ini minimal dapat mengurangi emisi efek rumah kaca dan mempertahankan hutan yang masih tersisa.
Namun, keseriusan tersebut sirna seketika, takkala dunia investasi diutamakan kepentingannya di sektor kehutanan. Penetapan tarif atau penyewaan terhadap hutan lindung mungkin oleh sebagian orang dirasa adalah kebijakan yang biasa-biasa saja. Namun jika diperhatikan secara konfrehensif, peraturan ini akan menimbulkan efek yang maha dahsyat, terutama bagaimana cara Indonesia terlepas dari bencana ekologis.
Carut marut regulasi disektor kehutanan
Sejak diterbitkannya Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, banyak perusahaan yang bergerak disektor pengelolaan sumber daya alam seperti perusahaan-perusahaan tambang, perkebunan, migas berharap-harap cemas. Karena secara jelas diuraikan dalam undang-undang tersebut bahwa, hutan lindung tidak dapat dibuka begitu saja. UU ini pun menuai kontroversi yakni antara pihak pengusaha , masyarakat dan para pemerhati lingkungan. Bahkan dalam perjalanannya, pemerintah juga setengah hati untuk menjalankan undang-undang tersebut. Dalam prakteknya pelanggaran terhadap undang-undang tersebut tidak ada yang diusut sampai tuntas. Bentuk ke tidak konsistenan pemerintah terhadap implementasi UU tersebut adalah dibuatlah peraturan-peraturan teknis yang sebenarnya memberikan penjelasan bahwa “hutan lindung dapat dibabat”. Tahun 2004, di era presiden Megawati, pemerintah RI mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang (Perpu) No. I Tahun 2004 (UU No.19 Tahun 2004 ; Perubahan UU No. 41 Tahun 1999) yang intinya adalah memperbolehkan 13 perusahaan tambang raksasa untuk melakukan praktek penambangan dihutan lindung.
Secara sederhana, penerbitan Perpu ini dinilai untuk menghindarkan pemerintah RI dari ancaman terhadap gugatan internasional (arbitrase) yang akan dilancarkan oleh beberapa perusahaan di Indonesia. Para pengusaha tambang mengatakan, pemerintah RI tidak konsisten, karena satu sisi mereka mengundang dan membuka iklim investasi akan tetapi di satu sisi, pemerintah RI juga tidak memberikan kepastian hukum terhadap investasi yang telah ada di Indonesia.
Alasan lain yang muncul adalah bagaimana bentuk implementasi undang-undang 41 tahun 1999 terhadap perusahaan-perusahaan yang telah terlebih dahulu menambang dihutan lindung sebelum UU No. 41 tahun 1999 terbit. Begitulah ribetnya regulasi disektor kehutanan kita saat itu.
Namun disadari atau tidak, sikap pemerintah RI terhadap perlindungan hutan lindung adalah ambigu bahkan cenderung menetapkan standar ganda. Lihat saja, disatu sisi, sistem konservasi yang gencar dilakukan oleh departemen kehutanan lewat BKSDA mempromosikan perluasan taman nasional sebagai sistem penyanggah yang tidak dapat diutak-atik keberadaannya. Namun ternyata di banyak tempat, kebijakan untuk men-taman-nasionalkan beberapa kawasan penting tidak begitu serius dan bahkan cenderung mengalah kepada investasi. Penetapan tapal batas kawasan lindung banyak juga yang digeser, kemudian dikonversi menjadi kawasan produksi. Akhirnya dengan begitu, tak ada bedanya dengan melakukan pembiaran pembabatan hutan lindung. Akan tetapi jika Dephut berhadapan dengan masyarakat dalam persoalan kawasan lindung, maka kekuatan Negara tak segan-segan diturunkan untuk mengamankan kawasan yang katanya “harus dijaga” itu.
Ambiguistis dalam tubuh Dephut
Menteri Kehutanan RI, M.S Ka’ban mewakili presiden pernah mengatakan bahwa, keluarnya PP No. 2 Tahun 2008 hanya semata-mata untuk memberikan keuntungan bagi pendapatan Negara lewat 13 perusahaan yang sebelumnya telah mengantongi izin operasi di hutan lindung lewat Perpu No.I tahun 2004. Namun, sikap ini justru meperparah situasi kehutanan kita. Jika PP No. 2 Tahun 2008 disimak secara seksama maka ditemukan fakta bahwa PP tersebut tidak mengatur hal demikian, bahkan PP ini juga melegitimasi pembabatan hutan lindung untuk kepentingan di sektor telekomunikasi, stasiun pemancar radio, relai televisi, listrik, instalasi air dan jalan tol. Kalau dinyatakan untuk ke 13 perusahaan tersebut (menurut Perpu No. I Tahun 2004), maka secara gamblang pemerintah telah berkelit sebab, ke 13 perusahaan tersebut semuanya bergerak disektor penambangan. Selain murahnya penyewaan hutan lindung yang hanya sekitar Rp. 1,2 juta –Rp.3 Juta/Ha, masalah lainnya adalah hutan lindung juga dapat dipindahkan berdasarkan kekuatan modal serta kekuatan politik. Walaupun sudah terasa naif, namun hal ini masih juga banyak dikeluhkan oleh para investor. Menurut mereka, salah satu faktor penghambat laju investasi tambang di Indonesia adalah berbelitnya regulasi yang harus di lalui untuk menambang di hutan lindung seperti aturan tukar menukar kawasan hutan.
Paradigma tentang hutan lindung yang seharusnya harus dilindungi, dengan keluarnya ketentuan-ketentuan yang semakin melemah dan berbalik arah, maka dengan sendirinya pula paradigma tersebut tersebut luntur sudah. Hutan lindung tak se-sakral lagi dengan makna kalimatnya. Penggambarannya sudah jelas, yang harus di lindungi oleh Negara dalam dunia kehutanan adalah mereka yang memiliki modal dan bukan obyek dalam hal ini hutan itu sendiri.
Menilai jasa hutan
Rp. 120/meter hutan lindung adalah harga yang sangat tidak pantas, akan tetapi taksiran itu telah direstui dan sebentar lagi diberlakukan. Ratusan perusahaan telah antri siap dengan koceknya masing-masing menunggu giliran membayarkan sejumlah uang yang tak seberapa besarnya kepada pemerintah. Dengan seperti itu, hutan lindung Indonesia harus direlakan kehancurannya demi pertimbangan pendapatan ekonomi sesat tersebut.
Semestinya sikap melindungi hutan harus dikaji ulang, harapan rakyat agar terlepas dari bencana tidak akan pernah dihitung dalam PP No. 2 tahun 2008. Akhirnya kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa paradigma percepatan pembangunan perekonomian bangsa masih berlandaskan pada azas jual cepat dan jual murah, dengan cara mengeksploitasi SDA tanpa mengenal batas dan jenis. Paradigma ini adalah paradigma yang seharusnya telah mati pasca reformasi digulirkan 10 tahun yang lalu. Sebab hanya menyisakan kemiskinan dan kesengsaraan yang berkepanjangan.
Perlindungan terhadap fungsi-fungsi hutan hanya menjadi slogan belaka, pelestarian dengan cara mempertahankan hutan tropis di Indonesia hanya menjadi pemanis bibir untuk tamu-tamu kenegaraan tiap perhelatan lingkungan internasional digelar. Jutaan rakyat yang tidak tahu apa-apa kembali akan menjadi korban bencana ekologis. Pada saat bencana datang, mereka mengatakan ini adalah takdir tuhan dan sibuk saling menyalahkan. Bagaimana mungkin menghindarkan bangsa ini dari bencana kalau hutan lindung di sewakan seharga permen ?
Prinsip penerbitan PP No.2 Tahun 2008 melupakan jasa hutan yang tidak semata-mata didasarkan nilai ekonomi semata. Hutan mempunyai jasa yang tidak dapat di uangkan, seperti pengatur iklim, penyerap air, sistem penyangah dan sebagainya.
Apa guna GNRHL
Seperti sebuah cerita dongeng belaka, rakyat di janji-janji dengan sebuah program nasional dalam rangka penyelamatan hutan Indonesia. Ribuan orang di libatkan untuk merumuskan dan terjun langsung dalam program rehabilitasi hutan dan lahan. Tujuannya, dengan program ini akan memuluskan langkah Indonesia untuk tidak lagi menjadi pengancur hutan tercepat seperti tercatat dalam sejarah dunia. Jutaan lahan kritis akan direhabilitasi dan diharapkan tidak lagi akan menjadi momok menakutkan dikemudian hari. Tetapi apa yang terjadi dengan cara menghamburkan uang rakyat, program ini berdasarkan evaluasinya hampir tidak ada yang berhasil, dan kalaupun ada, maka hutan tersebut siap-siap akan disewakan lagi. Rakyat membayar dan menanam, pemerintah yang menyewakan. Inilah kisah tragis program yang tak berkelanjutan, sebuah program yang ambisius tapi penuh dengan trik politik dan menyedihkan.
Indonesia Menanti Bencana
Jutaan orang telah menjadi korban bencana ekologis. Banjir, longsor, kekeringan, gagal panen yang terjadi dalam waktu 5 tahun terakhir semakin menjadi-jadi. Ini adalah akumulasi kegagalan negara dalam mengelola lingkungan hidup.
Hampir tiap hari berita banjir mewarnai media cetak dan elektronik ; korban tewas, luka, hilang sudah menjadi hal biasa dan dianggap lumrah. Akumulasi krisis ekologis ini telah mendorong bangsa Indonesia untuk harus tahu mekanisme“sigap bencana”. Namun pada dasarnya sikap seperti itu hanya akan menjadi kebiasaan yang akan berlarut-larut jika antisipasi dan pencegahan terhadap bencana tidak dimulai dari sekarang.
Apakah nasib ratusan juta rakyat Indonesia dipertimbangkan dalam penyewaan hutan lindung ?. Atau memang nyawa rakyat sudah tak berarti jika dibandingkan jasa yang telah diberikan oleh sektor investasi SDA.
Tangisan korban bencana, dan susahnya mencarikan pos penganggaran untuk bencana alam masih terasa kental ditelinga kita di saat bencana longsor Bahorok dan bencana banjir Sinjai terjadi. Rehabilitasi terhadap para korban di tiap daerah bencana selalu diwarnai keributan. Ribuan pengungsi gempa Yogya menuding Gubernur DIY tidak memberikan bantuan kepada para pengungsi secara penuh. Proses rehabilitasi bencana yang selalu di perebutkan oleh politisi dan pengusaha. Oleh karena itu, jika di paksakan untuk menilai hutan dari sisi ekonomi, maka pertanyaannya adalah, yang mana lebih besar biaya bencana ditambah rehabilitasi hutan atau pendapatan dari investasi SDA?