Akibatkan oleh semakin berkurangnya hutan Indonesia tiap tahunnnya membuat kondisi kesehatan dan ekonomi manusia ikut terancam. Tiap tahunnya Indonesia kehilangan 1,9 juta Ha pertahunnya dalam Lima tahun terakhir, keseluruhan hutan kita yang hilang telah mencapai 72 persen dari kawasan hutan alam utuhnya, dan 40 persen telah hancur total.
Jika laju kerusakan hutan dari tahun-ketahun tak terhindarkan, maka sudah dapat diprediksi krisis mineral termasuk air akan menjadi hantu yang menakutkan bagi masyarakat Indonesia yang telah berjumlah 270 juta jiwa. Saat ini 100 juta jiwa masyarakat Indonesia kesulitan dalam mengakses air bersih dan 70 persen diantaranya mengkonsumsi air yang telah terkontaminasi. Akibatnya adalah wabah diare menjadi penyebab kematian terbesar kedua bagi anak yang berusia dibawah Lima tahun yang berjumlah 100.000 jiwa per-tahunnya.
Laju dari kerusakan hutan, misalnya di Jawa Barat membuat pasokan air bersih untuk DKI tidak dapat dipenuhi karena menipisnya persediaan air di Bendungan Jatiluhur. Hal ini diungkapkan oleh direktur utama perum Jasa Tirta pada tanggal 25 Oktober 2005 lewat tanggapannya terhadap surat direktur PDAM DKI Jakarta. Tidak hanya di DKI Jakarta, di Sulawesi Selatan, hilangnya fungsi hutan sebagai daerah endapan air dan penadah air serta rusaknya DAS Jeneberang membuat DAM Bili-bili mengalami sedimentasi akibatnya pasokan air untuk daerah Gowa dan Makassar ikut tersendat apalagi dimusim kemarau. 3 DAS yang lainnya juga mengalami nasib yang sama, yakni DAS Sungai Sa’dan di Tana Toraja dan DAS Bila-Walanae (Sengkang, Soppeng) menyebabkan banjir rutin di Soppeng, Sengkang hingga Maros dan juga menyebabkan pendangkalan hebat di danau Tempe. Hal ini juga terjadi di DAS Sungai Rongkong, Luwu Utara yang menyebabkan banjir tahunan menimpa beberapa kecamatan dan menghancurkan areal pertanian masyarakat.
Berbagai macam usaha untuk menghentikan laju kerusakan hutan Indonesia telah ditempuh, walaupun pada kenyataannya realisasi dari usaha-usaha yang dimaksud tidak dapat berjalan dengan mulus akibat dari permasalahan klasik bangsa ini yakni KKN.
Penanganan illegal logging yang tengah gencar-gencarnya direalitaskan pemerintah nampaknya banyak menemui kendala dilapangan. Padahal kita pernah menyaksikan beberapa pengusaha kayu telah diperhadapkan pada meja hijau. Beberapa contoh penanganan illegal logging diantaranya, Polda Sumatera Selatan sejak bulan Januari hingga November 2006 telah menangani kasus illegal logging sebanyak 78 kasus dan telah menutup 32 tempat pemotongan kayu, namun usaha ini juga tidak banyak menghindarkan Sum-Sel dari laju kerusakan hutan yang kini telah mencapai 1,8 Ha. Secara keseluruhan hutan di pulau Sumatera yang umunya di dataran rendah menyusut drastis dari semula 16 juta Ha menjadi 500.000 Ha. Menyusutnya hutan didaratan rendah Sumatera banyak diakibatkan oleh peralihan fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri yang merupakan daerah konsesi beberapa perusahaan yang telah menebang 24.000 meter kubik kayu. Padahal hutan ini merupakan habitat 235 spesies burung, 36 spesies reptil, 37 jenis mamalia, kasarnya sebagian besar flora dan fauna yang tersimpan didalamnya mengalami kepunahan termasuk Harimau Sumatera yang tinggal 400-500 ekor dan Raflesia Arnoldi. Kendala usaha penghentian laju kerusakan hutan juga dialami oleh pemerintah Kalimantan Timur, 1.200 meter kubik kayu illegal dari cagar alam Muara Kamar Sedulang telah disita polisi akan tetapi eksplotasi ini tetap berlanjut bahkan dalam kuantitas yang lebih banyak diantaranya yang terjadi di Taman hutan raya Suharto, Taman nasional Kutai dan cagar alam Teluk Apar dan Teluk Adang. Dan yang lebih parah lagi terjadi di Papua, 13 dari 35 kasus illegal logging dinyatakan bebas.
Sementara itu, UU penanganan illegal logging yang diharapkan menjadi solusi progressif dan tidak hanya sebatas verbalistis dalam menanggulangi persoalan pembalakan hutan masih terkatung-katung. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Departemen kehutanan tanggal 9 Maret 2006 lalu dalam sebuah seminar, menurutnya rancangan UU illegal logging termasuk pengadilan Ad Hoc masih sebatas wacana di tingkatan antar departemen dan rencananya paling lambat pertengahan tahun ini sudah dapat diajukan ke DPR RI untuk diagendakan.
Jika kita menelaah jauh lagi tentang besarnya kerusakan hutan akibat penebangan liar, kita akan menemui beberapa contoh kokret yang lain. Diantaranya, di Pekanbaru 140 perusahaan telah menelantarkan 850.000 Ha di 10 Kabupaten dari 11 Kabupaten yang ada. Di Kalimantan Selatan 1,5 Juta Ha hutan atau sekitar 44,2 persen dari luas wilayahnya yang berkisar 555.983 berubah menjadi lahan kritis akibat penebangan liar dan ladang berpindah-pindah. Di Kalimantan Tengah deforestasi mencapai 200.000 Ha per tahun. Sementara itu pihak pemerintah hanya mampu melakukan reboisasi sekitar 100.000 Ha per tahunnya, ini berarti tiap tahunnya pula Kalimantan Tengah kehilangan 100.000 Ha hutannya tiap tahun.
Tentunya menelusuri illegal logging yang semakin menjamur tiap tahun, kita harus mencari tahu hipotesa yang menyebabkan mengapa bisnis kayu sangat diminati walaupun mempunyai resiko yang tinggi. Dari beberapa temuan selain faktor harga kayu, rotan, damar yang memang sangat menggiurkan, alasan banyaknya negara peng-impor kayu juga sangat mempengaruhi bisnis kayu dinegara kita. RRC merupakan negara pengimpor kayu illegal terbesar, kayu illegal dinegara ini mencapai 80 persen dari total kebutuhan kayunya. Namun sampai saat ini baik pemerintah RRC maupun negara pengekspor kayu termasuk Indonesia tidak melakukan langkah apapun dalam menyikapi persoalan ini. Dan untuk negara-negara Uni Eropa, impor kayu illegal terbesar adalah kayu lapis. Pada tingkat nasional ditengah gencarnya pemberantasan terhadap illegal logging yang berdampak pada naiknya harga baku kayu yang semula seharga Rp.7.5 juta perkubik untuk jenis kayu jati kini telah mencapai harga Rp.12.5 juta perkubiknya. Kenaikan harga ini ditaktisi para pengusaha meubel dengan cara memanfaatkan akar kayu dan limbah sebagai bahan baku demi tetap menjaga kelangsungan usahanya.
Saat ini ancaman terhadap kelangsungan hutan Indonesia betul-betul tidak dapat di pandang sebelah mata lagi. Menurut hasil perjalanan Green Peace lewat kapal Rainbow Warrior telah menyimpulkan sebuah ulasan yang menarik tentang kehancuran hutan dikawasan benua Asia. “Chains of Destruction” adalah buku perjalanan Green Peace yang terbit pada awal Maret 2006. Buku ini memberikan gambaran bahwa laju deforestasi tercepat dikawasan Asia Pasifik adalah kawasan hutan yang disebut hutan surgawi (Paradise Forest). Sementara itu, hutan yang sampai saat ini belum terjamah oleh manusia membentang dari Asia tenggara melintasi kepulauan Indonesia hingga Papua Nugini dan kepulauan Solomon di Pasifik.
Di Sulawesi Selatan bertambahnya areal perkotaan di tiap Kabupaten termasuk Kotamadya membuat areal hutan yang meliputi pegunungan, dan hutan dataran rendah termasuk hutan adat serta kawasan pesisir pantai semakin menyusut. Pertambahan penduduk yang tidak diimbangi dengan strategi pengelolaan hutan yang berkelanjutan akan menjadikan kawasan hutan termasuk hutan lindung, cagar alam, dan taman nasional terancam. Taman nasional Bantimurung Bulusaraung yang baru berusia beberapa tahun telah terbukti tidak terpelihara dan terjaga dengan baik. Tumpang tindihnya Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Hak Guna Usaha (HGU), Amdal dan tidak jelasnya batas-batas hutan lindung dengan daerah konservasi dan daerah industri hutan membuat keberadaan taman nasional ini mengalami ancaman berat.
Menurut hasil riset UN-Habitat menunjukkan tahun 2050 kelak dua per tiga (sekitar 6 miliar) penghuni akan beralih ke kota. Laporan ini tentunya akan menjadi permasalahan tersendiri, terkhusus lagi kaitannya dengan permasalahan lingkungan hidup. Efek dari laju kuantitas masyarakat kota berimpilikasi ke semakin merendahnya kualitas kesehatan manusia. Beberapa hasil riset menunjukkan bahwa ketika pemasokan pangan untuk masyarakat kota semakin meningkat maka jumlah masyarakat miskin yang hidup dari pertanian semakin meningkat, hingga kini petani miskin mencapai 70 persen termasuk di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur yang berjumlah 56 persen sampai dengan 62 persen. Dampak dari bertambahnya pangan masyarakat perkotaan adalah para petani dipedesaan harus berkerja maksimal untuk menyiapkan pangan tersebut. Banyak cara untuk mengefesienkan atau mempercepat laju pertanian diantaranya penggunaan pestisida. Disadari atau tidak penggunaan pestisida selama 40 tahun terakhir ini telah mewariskan 500 spesies hama yang resisten terhadap lingkungan hidup. Dampak lain adalah luas areal pertanian yang tidak lagi mencukupi kebutuhan sandang pangan masyarakat menjadikan hutan direlokasi fungsi-fungsinya. Padahal banyak metode yang dapat digunakan untuk mengurangi ketergantungan terhadap pestisida. Diantaranya dengan metode revolusi pertanian hijau tanpa organik yang telah terbukti tidak menimbulkan agens hayati atau dengan konsep agrobisnis tanpa limbah “zero waste” dengan jalan mendaur ulang limbah yang dihasilkan.
Seharusnya dari sekitar 120 juta Ha hutan alam Indonesia, minimal 30 persen harus tetap dijaga kelestariannya demi lingkungan. Namun yang terjadi, hutan Indonesia saat sekarang ini hanya berjumlah 26 persen dan akan terus berkurang dari tahun ke tahun jika persoalan pembalakan hutan tetap dianaktirikan kepentingannya. Kurang lebih 72 juta meter kubik kayu lenyap per tahun akibat penebangan liar dan telah merugikan negara sebesar 180 Miliar Rupiah per hari atau ratusan triliun Rupiah per tahun selama 25 tahun terakhir. Oleh karena itu, semua elemen bangsa ini mulai dari birokrasi eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian, masyarakat, ORNOP, Ormas dari level pusat sampai pada tingkatan daerah harus segera merumuskan dan mengambil langkah-langkah strategis untuk penyelamatan hutan kita. Dari usaha ini diharapkan adanya kesepahaman bersama untuk melihat permasalahan kerusakan hutan secara integral tidak terpisah oleh kepentingan tertentu termasuk kepentingan pemodal. Usaha ini diarahkan pada penghentian pembalakan hutan Indonesia untuk kepentingan investasi yang hanya berujung pada divestasi ekologi, kehancuran lingkungan hidup dan kemorosatan kesehatan serta ekonomi manusia melalui kebijakan moratorium atau usaha-usaha lain yang sifatnya lebih strategis.
Jika laju kerusakan hutan dari tahun-ketahun tak terhindarkan, maka sudah dapat diprediksi krisis mineral termasuk air akan menjadi hantu yang menakutkan bagi masyarakat Indonesia yang telah berjumlah 270 juta jiwa. Saat ini 100 juta jiwa masyarakat Indonesia kesulitan dalam mengakses air bersih dan 70 persen diantaranya mengkonsumsi air yang telah terkontaminasi. Akibatnya adalah wabah diare menjadi penyebab kematian terbesar kedua bagi anak yang berusia dibawah Lima tahun yang berjumlah 100.000 jiwa per-tahunnya.
Laju dari kerusakan hutan, misalnya di Jawa Barat membuat pasokan air bersih untuk DKI tidak dapat dipenuhi karena menipisnya persediaan air di Bendungan Jatiluhur. Hal ini diungkapkan oleh direktur utama perum Jasa Tirta pada tanggal 25 Oktober 2005 lewat tanggapannya terhadap surat direktur PDAM DKI Jakarta. Tidak hanya di DKI Jakarta, di Sulawesi Selatan, hilangnya fungsi hutan sebagai daerah endapan air dan penadah air serta rusaknya DAS Jeneberang membuat DAM Bili-bili mengalami sedimentasi akibatnya pasokan air untuk daerah Gowa dan Makassar ikut tersendat apalagi dimusim kemarau. 3 DAS yang lainnya juga mengalami nasib yang sama, yakni DAS Sungai Sa’dan di Tana Toraja dan DAS Bila-Walanae (Sengkang, Soppeng) menyebabkan banjir rutin di Soppeng, Sengkang hingga Maros dan juga menyebabkan pendangkalan hebat di danau Tempe. Hal ini juga terjadi di DAS Sungai Rongkong, Luwu Utara yang menyebabkan banjir tahunan menimpa beberapa kecamatan dan menghancurkan areal pertanian masyarakat.
Berbagai macam usaha untuk menghentikan laju kerusakan hutan Indonesia telah ditempuh, walaupun pada kenyataannya realisasi dari usaha-usaha yang dimaksud tidak dapat berjalan dengan mulus akibat dari permasalahan klasik bangsa ini yakni KKN.
Penanganan illegal logging yang tengah gencar-gencarnya direalitaskan pemerintah nampaknya banyak menemui kendala dilapangan. Padahal kita pernah menyaksikan beberapa pengusaha kayu telah diperhadapkan pada meja hijau. Beberapa contoh penanganan illegal logging diantaranya, Polda Sumatera Selatan sejak bulan Januari hingga November 2006 telah menangani kasus illegal logging sebanyak 78 kasus dan telah menutup 32 tempat pemotongan kayu, namun usaha ini juga tidak banyak menghindarkan Sum-Sel dari laju kerusakan hutan yang kini telah mencapai 1,8 Ha. Secara keseluruhan hutan di pulau Sumatera yang umunya di dataran rendah menyusut drastis dari semula 16 juta Ha menjadi 500.000 Ha. Menyusutnya hutan didaratan rendah Sumatera banyak diakibatkan oleh peralihan fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri yang merupakan daerah konsesi beberapa perusahaan yang telah menebang 24.000 meter kubik kayu. Padahal hutan ini merupakan habitat 235 spesies burung, 36 spesies reptil, 37 jenis mamalia, kasarnya sebagian besar flora dan fauna yang tersimpan didalamnya mengalami kepunahan termasuk Harimau Sumatera yang tinggal 400-500 ekor dan Raflesia Arnoldi. Kendala usaha penghentian laju kerusakan hutan juga dialami oleh pemerintah Kalimantan Timur, 1.200 meter kubik kayu illegal dari cagar alam Muara Kamar Sedulang telah disita polisi akan tetapi eksplotasi ini tetap berlanjut bahkan dalam kuantitas yang lebih banyak diantaranya yang terjadi di Taman hutan raya Suharto, Taman nasional Kutai dan cagar alam Teluk Apar dan Teluk Adang. Dan yang lebih parah lagi terjadi di Papua, 13 dari 35 kasus illegal logging dinyatakan bebas.
Sementara itu, UU penanganan illegal logging yang diharapkan menjadi solusi progressif dan tidak hanya sebatas verbalistis dalam menanggulangi persoalan pembalakan hutan masih terkatung-katung. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Departemen kehutanan tanggal 9 Maret 2006 lalu dalam sebuah seminar, menurutnya rancangan UU illegal logging termasuk pengadilan Ad Hoc masih sebatas wacana di tingkatan antar departemen dan rencananya paling lambat pertengahan tahun ini sudah dapat diajukan ke DPR RI untuk diagendakan.
Jika kita menelaah jauh lagi tentang besarnya kerusakan hutan akibat penebangan liar, kita akan menemui beberapa contoh kokret yang lain. Diantaranya, di Pekanbaru 140 perusahaan telah menelantarkan 850.000 Ha di 10 Kabupaten dari 11 Kabupaten yang ada. Di Kalimantan Selatan 1,5 Juta Ha hutan atau sekitar 44,2 persen dari luas wilayahnya yang berkisar 555.983 berubah menjadi lahan kritis akibat penebangan liar dan ladang berpindah-pindah. Di Kalimantan Tengah deforestasi mencapai 200.000 Ha per tahun. Sementara itu pihak pemerintah hanya mampu melakukan reboisasi sekitar 100.000 Ha per tahunnya, ini berarti tiap tahunnya pula Kalimantan Tengah kehilangan 100.000 Ha hutannya tiap tahun.
Tentunya menelusuri illegal logging yang semakin menjamur tiap tahun, kita harus mencari tahu hipotesa yang menyebabkan mengapa bisnis kayu sangat diminati walaupun mempunyai resiko yang tinggi. Dari beberapa temuan selain faktor harga kayu, rotan, damar yang memang sangat menggiurkan, alasan banyaknya negara peng-impor kayu juga sangat mempengaruhi bisnis kayu dinegara kita. RRC merupakan negara pengimpor kayu illegal terbesar, kayu illegal dinegara ini mencapai 80 persen dari total kebutuhan kayunya. Namun sampai saat ini baik pemerintah RRC maupun negara pengekspor kayu termasuk Indonesia tidak melakukan langkah apapun dalam menyikapi persoalan ini. Dan untuk negara-negara Uni Eropa, impor kayu illegal terbesar adalah kayu lapis. Pada tingkat nasional ditengah gencarnya pemberantasan terhadap illegal logging yang berdampak pada naiknya harga baku kayu yang semula seharga Rp.7.5 juta perkubik untuk jenis kayu jati kini telah mencapai harga Rp.12.5 juta perkubiknya. Kenaikan harga ini ditaktisi para pengusaha meubel dengan cara memanfaatkan akar kayu dan limbah sebagai bahan baku demi tetap menjaga kelangsungan usahanya.
Saat ini ancaman terhadap kelangsungan hutan Indonesia betul-betul tidak dapat di pandang sebelah mata lagi. Menurut hasil perjalanan Green Peace lewat kapal Rainbow Warrior telah menyimpulkan sebuah ulasan yang menarik tentang kehancuran hutan dikawasan benua Asia. “Chains of Destruction” adalah buku perjalanan Green Peace yang terbit pada awal Maret 2006. Buku ini memberikan gambaran bahwa laju deforestasi tercepat dikawasan Asia Pasifik adalah kawasan hutan yang disebut hutan surgawi (Paradise Forest). Sementara itu, hutan yang sampai saat ini belum terjamah oleh manusia membentang dari Asia tenggara melintasi kepulauan Indonesia hingga Papua Nugini dan kepulauan Solomon di Pasifik.
Di Sulawesi Selatan bertambahnya areal perkotaan di tiap Kabupaten termasuk Kotamadya membuat areal hutan yang meliputi pegunungan, dan hutan dataran rendah termasuk hutan adat serta kawasan pesisir pantai semakin menyusut. Pertambahan penduduk yang tidak diimbangi dengan strategi pengelolaan hutan yang berkelanjutan akan menjadikan kawasan hutan termasuk hutan lindung, cagar alam, dan taman nasional terancam. Taman nasional Bantimurung Bulusaraung yang baru berusia beberapa tahun telah terbukti tidak terpelihara dan terjaga dengan baik. Tumpang tindihnya Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Hak Guna Usaha (HGU), Amdal dan tidak jelasnya batas-batas hutan lindung dengan daerah konservasi dan daerah industri hutan membuat keberadaan taman nasional ini mengalami ancaman berat.
Menurut hasil riset UN-Habitat menunjukkan tahun 2050 kelak dua per tiga (sekitar 6 miliar) penghuni akan beralih ke kota. Laporan ini tentunya akan menjadi permasalahan tersendiri, terkhusus lagi kaitannya dengan permasalahan lingkungan hidup. Efek dari laju kuantitas masyarakat kota berimpilikasi ke semakin merendahnya kualitas kesehatan manusia. Beberapa hasil riset menunjukkan bahwa ketika pemasokan pangan untuk masyarakat kota semakin meningkat maka jumlah masyarakat miskin yang hidup dari pertanian semakin meningkat, hingga kini petani miskin mencapai 70 persen termasuk di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur yang berjumlah 56 persen sampai dengan 62 persen. Dampak dari bertambahnya pangan masyarakat perkotaan adalah para petani dipedesaan harus berkerja maksimal untuk menyiapkan pangan tersebut. Banyak cara untuk mengefesienkan atau mempercepat laju pertanian diantaranya penggunaan pestisida. Disadari atau tidak penggunaan pestisida selama 40 tahun terakhir ini telah mewariskan 500 spesies hama yang resisten terhadap lingkungan hidup. Dampak lain adalah luas areal pertanian yang tidak lagi mencukupi kebutuhan sandang pangan masyarakat menjadikan hutan direlokasi fungsi-fungsinya. Padahal banyak metode yang dapat digunakan untuk mengurangi ketergantungan terhadap pestisida. Diantaranya dengan metode revolusi pertanian hijau tanpa organik yang telah terbukti tidak menimbulkan agens hayati atau dengan konsep agrobisnis tanpa limbah “zero waste” dengan jalan mendaur ulang limbah yang dihasilkan.
Seharusnya dari sekitar 120 juta Ha hutan alam Indonesia, minimal 30 persen harus tetap dijaga kelestariannya demi lingkungan. Namun yang terjadi, hutan Indonesia saat sekarang ini hanya berjumlah 26 persen dan akan terus berkurang dari tahun ke tahun jika persoalan pembalakan hutan tetap dianaktirikan kepentingannya. Kurang lebih 72 juta meter kubik kayu lenyap per tahun akibat penebangan liar dan telah merugikan negara sebesar 180 Miliar Rupiah per hari atau ratusan triliun Rupiah per tahun selama 25 tahun terakhir. Oleh karena itu, semua elemen bangsa ini mulai dari birokrasi eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian, masyarakat, ORNOP, Ormas dari level pusat sampai pada tingkatan daerah harus segera merumuskan dan mengambil langkah-langkah strategis untuk penyelamatan hutan kita. Dari usaha ini diharapkan adanya kesepahaman bersama untuk melihat permasalahan kerusakan hutan secara integral tidak terpisah oleh kepentingan tertentu termasuk kepentingan pemodal. Usaha ini diarahkan pada penghentian pembalakan hutan Indonesia untuk kepentingan investasi yang hanya berujung pada divestasi ekologi, kehancuran lingkungan hidup dan kemorosatan kesehatan serta ekonomi manusia melalui kebijakan moratorium atau usaha-usaha lain yang sifatnya lebih strategis.
No comments:
Post a Comment